Moehammad Imron Kadir (dok Pribadi) |
Oleh: Moehammad Imron Kadir
Penulis adalah Jebolan LPDS Jakarta, dan Pekerja Humas di Universitas Khairun
Pada 2 Januari 2025, dunia jurnalistik Indonesia kehilangan salah satu tokoh terbaiknya, Atmakusumah Astraatmadja, yang lebih akrab dipanggil Pak Atma. Kepergiannya meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam perjalanan panjang dunia pers Tanah Air.
Lahir 20 Oktober 1938 di Labuan, Banten, Atmakusumah Astraatmadja meninggal pada usia 86 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Beliau menghembuskan napas terakhir setelah menjalani perawatan intensif akibat gagal ginjal.
Sebagai seorang wartawan kriminal di Tabloid Cermin Reformasi, saya merasakan betul bagaimana Atmakusumah dengan sabar dan tulus mengajarkan banyak hal.
Salah satunya adalah cara menulis straight news yang jernih, objektif, dan penuh integritas. Atmakusumah, yang menggantikan instruktur alm. Mochtar Lubis setelah kepergiannya, menjadi mentor kami di LPDS. Sebagai wartawan nasional, Mochtar Lubis sudah dikenal dengan julukannya yang legendaris "Si Hitam", yang diberikan oleh Presiden Soekarno. Menurut Soekarno, Indonesia bisa putih atau hitam tergantung dalam pemberitaan Mochtar Lubis.
Atmakusumah Astraatmadja (dok Istimewa) |
Saya mengenal Atmakusumah saat mengikuti pelatihan di Lembaga Pers Doktor Setomo (LPDS) Jakarta, menggantikan pemateri legendaris Mochtar Lubis. Meski menggantikan tokoh besar, Atmakusumah tidak hanya berbicara soal teknis jurnalisme, tapi juga tentang esensi yang jauh lebih mendalam, seperti integritas dan tanggung jawab sosial.
Sebuah pesan yang selalu beliau tekankan, “Jangan pernah menerima amplop,” menjadi prinsip yang tak lekang oleh waktu.
Atmakusumah bukan hanya seorang wartawan ulung, tapi juga seorang pengingat bagii para jurnalis muda, untuk selalu mengutamakan kebenaran di atas segalanya. Dunia jurnalistik bukan sekadar menyampaikan informasi, namun juga membentuk opini publik yang jujur dan bertanggung jawab.
Atmakusumah mengajarkan bahwa sebagai wartawan, tak hanya bertanggung jawab pada pemberitaan, tetapi juga pada nilai-nilai moral yang mendasari setiap tulisan.
Selain kiprahnya yang luar biasa di dunia jurnalistik, Atmakusumah juga berperan penting dalam memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia. Peranannya dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers adalah bukti komitmennya yang tak tergoyahkan untuk menjaga kebebasan media, terutama di era yang penuh dengan tantangan, seperti masa Orde Baru.
Sebagai seorang mentor, Atmakusumah tidak hanya mengajarkan teknik menulis, tapi juga membentuk karakter jurnalis yang mampu mengedepankan kebenaran, meskipun seringkali itu bukan hal yang populer.
Dedikasinya dalam mendidik banyak generasi jurnalis muda memastikan bahwa semangat integritas dan keberanian dalam menyuarakan kebenaran akan terus hidup.
Kepergiannya adalah kehilangan besar, namun warisan yang beliau tinggalkan akan terus menjadi landasan bagi para jurnalis muda. Dunia jurnalistik Indonesia masih membutuhkan lebih banyak sosok seperti Pak Atma—mereka yang tidak hanya terampil menulis, tapi juga memiliki keberanian moral untuk melawan ketidakadilan.
Selamat jalan mentor Atmakusumah. Jasa dan semangat perjuanganmu akan terus menginspirasi kami. Dunia jurnalistik Indonesia berutang banyak padamu, dan kami akan selalu mengenangmu dalam setiap karya yang kami hasilkan.**