Kepada Paman Gol A. Gong

Sebarkan:
Askim Kanshu (dok Pribadi)


Oleh:
Askim Kanshu, Jurnalis Penggemar Novel Biografi

 

 Pahit manis

semua

harus aku reguk.


Puisi itu, Paman tulis di halaman pertama Air Mata Kopi. Buku himpunan puisi petualangan Paman mereguk kopi ini, setia menemani perjalanan saya, sejak beli delapan tahun lalu di satu toko buku di mal mewah, Makassar.  

Pengujung 2015, pada kedai yang lengang di Pelabuhan Batam, bersama beberapa teman konsultan lingkungan menyeruput kopi O, sebelum naik kapal cepat ke Tanjung Pinang, sore.“O itu original, tanpa gula atau susu,” jelas lelaki pemilik kedai berdialek Melayu, ujung ibu jari dan telunjuknya ia pertemukan berbentuk O. Original oke. Saya tersenyum, manggut-manggut.

Esoknya, dari Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau itu, kami mampir di kedai kopi ternama yang ramai di Nagoya Hill Mall, sebelum ke Jakarta dengan pesawat sore. Tak jauh dari kami, empat perempuan berparas aduhai melepaskan seragam kantor swasta dan menyandarkan di kursi. Seperti kami, mereka menikmati kopi, asap mengepul dari bibir-bibir merona merekah. Seseorang yang mirip Shalvynne Chung—pemeran Aling dalam film Edensor, membuyarkan fokusku membaca puisi Paman, “Air Mata Kopi.”  “Itu gadis Melayu Tiongkok,” bisik temanku dari Minangkabau, tersenyum.  

Saya suka Air Mata Kopi, karena ibu dan ayah juga petani. Bukan petani kopi. Petani kelapa yang menanam beberapa pohon pala dan cengkih di negeri garis khatulistiwa, kerap terluka seperti petani kopi yang Paman tulis dalam beberapa puisi di buku itu. Ibuku kerap menyeduh kopi untuk ayah dan kakeku.

Tak hanya Air Mata Kopi. Tulisan Paman di media nasional menyentuh kepala saya, sudah lama. Sepenggal kisah hidup Paman yang diberitakan dan di-film-kan, tak saya lewatkan. Karena itu, saat Paman datang memenuhi undangan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Disarpus) Maluku Utara pada Festival Literasi yang kedua di Sofifi, 9-11 Oktober 2023, saya tak sabar ingin bertemu. Kendati Paman tak mengenal saya.

Niat berjumpa Paman tak bertepuk sebelah tangan. Ponsel saya berdering, pesan dari Nona Lethulur, Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispersip) Kota Ternate. Paman diundang Ketua TP PKK-Dispersip bacarita literasi di kota rempah bersama Bunda Literasi Kota Ternate, Marliza Marsaoly Tauhid, di Taman Nukila, 11 Oktober. Pelajar terpilih dari tujuh SMP negeri dan swasta di kota ini jadi peserta, lengkap dengan guru-guru pendamping. 

Dengan ojek, saya tiba di Taman Nukila 15 menit sebelum acara dimulai jam dua. Duduk sendiri di dekat pagar, agar bisa mendengar ombak kecil yang malas berdebur dan dibelai angin laut berdesir. “Jangan Minum Kopi,” puisi Paman di buku itu saya baca lagi, sekaleng kopi terkenal di dunia yang saya beli di kios tepi jalan, tinggal setengah.

Saya ingat, dengan santai, mengalir, dialogis, menyulut semangat, sesekali humor, Paman berbagi banyak kisah dunia literasi, yang tak memungkinkan saya menyebut semua di sini. Ada waktu jeda beberapa detik, seperti tanda koma dan titik dalam menulis. Tak ada ketegangan di wajah anak-anak pelajar, juga menyita perhatian semua, termasuk pengunjung Taman di jantung kota itu.

Pamam perkenalkan diri sebagai Duta Baca Indonesia setelah Najwa Shihab. Pendahulu Paman dan Najwa yaitu Tantowi Yahya dan Andy F. Noya. Gol A. Gong adalah nama pena. Gol artinya tujuan, diberikan ayah. ‘A’ kependekan dari sebutan nama Allah, dan Gong simbol gaungan, disematkan ibu, dengan harapan karya-karya Paman bergema layaknya gong yang ditabuh. Gol A. Gong bermakna semua kesuksesan dari Allah.  

Paman juga bilang selalu ingat pesan ayah menyuntikkan motivasi saat Paman kecil mulai pulih dari luka-luka musibah: “Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang dan lupa bahwa diri kamu itu cacat." Paman berdaya dengan buku, terbukti karya-karya Paman bergaung, menyentuh banyak kepala. Ada yang sudah diadaptasi ke layar lebar, Balada Si Roy. Nama asli Paman, Heri Hendrayana Harris.

Kemahiran Paman membuat puisi, cerita horor dan romansa seketika, membuat samua terpukau. Tanpa kecuali saya dan tukang pembersih taman. Kepada seorang pelajar perempuan yang jujur pernah menerima pesan cinta dari teman kelasnya, Paman memoles menjadi puisi romantis:

 Ternate kota yang indah

suatu saat

pasti aku akan meninggalkan kota ini

Tetapi kamu

apapun yang terjadi

aku tak akan meninggalkanmu.”

Riuh tepukan tangan, tawa dan siulan bersahutan, daun-daun luruh. “Jatuh cinta bisa membuat orang menulis puisi,” kata Paman. Ingatanku terpelanting pada masa SMP, pada dara-dara blasteran Arab, Tiongkok, dan Bugis, yang rajin menerima suratku. Andai saat itu saya mahir menulis puisi seperti Paman, pasti ada suratku yang tak berakhir di tempat sampah. Tak bertepuk sebelah tangan, meluluhkan hati purnama-purnama itu. 

Kemudian, Paman membuat kuis tebak makna puisi tentang Ibu, setiap hujan aku selalu menggunakan payung.” Beberapa pelajar menjawab, hanya satu orang yang benar: setiap ada masalah yang menimpaku, ibu-lah orang pertama yang selalu kuceritakan. “Pintar anak ini,”kata Paman sambil mengarahkan ibu jari padanya. Paman jelaskan, “payung adalah simbol ibu, dan hujan, masalah. Begitulah puisi, membungkus fenomena, yang membedakannya dengan pengumuman. Puisi menyimpan makna di balik kata-kata.”

Tiba-tiba, saya ingat ibuku di kampung (yang telah berpulang jelang Ramahdhan 1445 Hijriah), anak-anakku di Makassar yang ditinggal ibu mereka tiga hari setelah lebaran Idul Fitri 1444 Hijriah. Bibirku bergetar, bergegas kuusap mataku yang digenangi rintik embun dengan sapu tangan biru laut bergaris putih tipis, yang dibelikan mendiang istriku. Saya menangis sesunggukan dalam hati.

Sebagai seorang muslim, sesekali Paman sebut ayat Al-Qur’an yang Paman terapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial. Literasi, salah satunya. Dalam rumah, Paman dan istri sesaki buku, dapur hingga ruang privat anak, ada rak berisi buku. Sedari dini anak-anak diakrabkan dengan buku, tak cekcok pula. Kini, ada yang kuliah di Tiongkok, Abdu Dhabi, Yogyakarta. Petuah Cicero terngiang di telinga saya: “rumah tanpa buku bagai tubuh tanpa jiwa.”   

Paman bilang bisa berdiri di sini, keliling dunia, dan menulis 126 buku (sekarang sudah 130), bukan karena hebat. Dengan rendah hati Paman katakan, semua itu lantaran Paman memuliakan titah Tuhan, Iqra: Bacalah! Surah pertama Al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, melalui malaikat Jibril.

Bacarita literasi selesai, jarum jam di tanganku hampir jam lima. Saat Paman sibuk melayani foto bersama mulai berkurang, saya mengumpulkan energi keberanian dengan buku untuk hampiri Paman. “Sebentar ya mas,”mata Paman tertuju pada buku Membaca Negeriku Mengenali Manusianya yang saya editori, dan Air Mata Kopi, yang saya keluarkan dalam tas. Kecuali, Esai Tanpa Pagar: 100 Pilihan Literasi Koran Tempo Makassar 2013, meski ada esaiku di dalamnya. 

Usai foto bersama, kita duduk di kursi bambu buatan UMKM lokal yang Paman dan Marliza tempati tadi. “Tanda tangan ya,” ucap Paman. Paman tandatangani Air Mata Kopi, saya Membaca Negeriku Mengenali Manusianya. Nona, moderator Mardania Gazali, wartawan PotretMalut Ismail Lasut, Cecep Ketua Taman Baca Masyarakat, beberapa pegawai, juga pelajar sibuk memotret dan video. Saya kikuk. 

Masih di tempat itu, Paman melayani mereka yang menyodorkan buku untuk dituliskan puisi atau kata-kata pemantik hidup. Mardania tak melewatkan kesempatan. Kepada gadis tinggi semampai berjilbab ini, Paman bertanya, sudah menikah? “Belum,” ia tersenyum menjawab. Paman menulis di lembaran pertama buku tulisnya,jadilah telaga untuk lelakimu.” Riuh lagi. Gigi seputih kulitnya menyembul dari balik bibir merahnya yang merekah. Sungguh, saya tak mengerti makna empat kata itu, Paman. Hanya merasakan kesejukan dalam hati, berandai-andai pula.

Sesaat setelah itu, kita beranjak beberapa langkah dari tempat duduk. “Kita buat video, kamu sampaikan isi bukunya ya..,” kata Paman. Saya gugup, jantung berdebar, jidat dingin dan tangan bergetar sedikit, seperti hendak menyampaikan kesungguhan rasa pada bidadari. Dari 15 Bagian Membaca Negeriku Mengenali Manusianya, hanya satu yang saya ingat: Literasi.

Tapi Paman, video pendek itu lumayan diapresiasi di media sosial. “Keren sekali..,”balasan pribadi seorang perempuan dengan menjejalkan tiga emoji love tersenyum lebar bermata hati, dan dua tersenyum lebar dengan tiga mata hati. Ekspresi gadis yang tak lama lagi menempuh studi S2 di salah satu negara termaju di dunia dengan beasiswa itu, membuat saya melayang. Meskipun, barangkali bukan hati putihnya yang bertutur.

Jarum jam menunjukkan jam setengah enam. Kita diskusi santai sekitar 10 menit dengan Nona, Cecep, dan Ismail. Mardania mengarahkan video hanphonenya Nona. Usai itu, Paman kembali ke hotel diantar Cecep, saya ke tempat ngopi bersama Ismail. Riang bukan main menyelimutiku. Tak hanya lantaran sudah bertemu dengan Paman. Melainkan, merasakan kelembutan telapak tangan gadis yang kelak “menjadi telaga untuk lelaki” terbaik yang ditakdirkan Tuhan untuknya, saat pamitan.

***

Pertemuan kedua Juli, di sela puncak lomba menulis opini dan esai Dispersip Ternate di aula Dinas Pendidikan, talk show dan pelatihan menulis kearifan lokal, oleh Perpusnas-Disarpus Maluku Utara di aula Waterboom. Kepada Ummulkhairy M. Dun dan 19 penulis yang Paman latih usai talk show, Paman ingatkan, “seorang penulis tak seperti tukang batu, hanya menempelkan material campuran pada bangunan. Maknanya, comot teori sana-sini tanpa penjelasan. Seorang penulis harus mampu menjelaskan teori yang dijadikan sandaran, berarti harus dibaca supaya dipahami.”

Pertemuan ketiga September, setelah Paman melatih 18 penulis kearifan lokal di Sofifi, dan bersama Sekda Ternate Rizal Marsaoly bacarita literasi dengan 1.036 pelajar SMPN 2 Ternate—100 di antaranya Paman latih menulis fiksi mini. “Kemarin di Sofifi baru tiga tulisan yang masuk loh, pesertanya hanya 18 orang, harusnya 20. Rugi, karena hanya Maluku Utara yang dua kali dapat program menulis kearifan lokal dari Perpunas,” tutur Paman saat kita makan siang bersama pegawai Dispersip di sebuah restoran, usai menguras energi di SMPN 2.

Malamnya, bersama Nona, Nuranini Umasugi—arsiparis ahli madya, dan pegiat literasi Helmi H. Yusuf, kita diskusi dengan penggerak Ternate Book Party di Rotomcaffée, depan Gedung Kearsipan Kota Ternate, di Benteng Oranje. Di antara yang Paman sarankan pada anak-anak Gen Z  yang tak padam gairahnya memupus stigma negatif masyarakat terhadap orang membaca di ruang publik itu: “harus menulis supaya bisa menjangkau banyak orang. Kalau kegiatan bedah buku ditulis dan dimuat di media, satu tahun sudah bisa diterbitkan menjadi buku.”

Pada dua kegiatan Dinas yang rajin menggerakkan literasi itu, Paman juga bacarita literasi dengan tema yang sungguh menggairahkan:”Membaca itu Sehat, Menulis itu Hebat,” kepada pelajar, guru, orang tua murid, pegiat literasi dan beberapa penulis.

Di Restoran Waterboom, sehabis makan siang, kita ngopi sambil diskusi bersama Helmi. Paman bilang, pentingnya peran pentahelix memajukan literasi di daerah ini. Paman bersedia pula memberi pengantar buku himpunan tulisan saya.”Kalau sudah selesai disusun kirim ya, bisa lewat email, atau whatsapp,” kata Paman. Saya semakin semangat.       

***

Setiap bertemu, Paman membuat saya merasa menjadi orang “penting.” Dapat pula pengetahuan, pengamalan, dan teman baru. Tapi, Paman sering lupa nama pena saya, M. Kubais M. Zeen. Setelah mencari dan merenung cukup lama, mulai saat ini saya menggunakan nama pena Askim Kanshu. Askim, bahasa Turkiye artinya cintaku. Kanshu, bahasa Mandarin, membaca buku. Askim Kanshu berarti aku cinta membaca buku.

Oh ya, Paman. Puisi di awal surat ini yang Paman tulis saat kita tandatangani buku di Taman Nukila, belum saya temukan makna sesungguhnya. Apakah itu tentang menapaki hidup di tengah pernyataan yang kian jauh dari kenyataan dan janji-janji berbuih? Ataukah, mengarungi jalan sunyi ini, tanpa mengabaikan tekad melabuhkan kesungguhan asa pada seorang introvert yang sedang menyelami ambivert, tetapi tidak dengan kata-kata? **

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini